Penolakan Tidak Adil Bila Embung Sanur Juga Babat Ekosistem Mangrove

    Penolakan Tidak Adil Bila Embung Sanur Juga Babat Ekosistem Mangrove
    Paku laut, salah satu ekosistem penunjang di kawasan Mangrove (sumber foto google)

    DENPASAR ● Penolakan terhadap rencana pemanfaatan Kawasan Hutan Mangrove Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, oleh Perusda dengan PT. Dewata Energi Bersih (PT. DEB) untuk membangun ketahanan energi mandiri sepertinya tidak adil. 

    Coba kita lirik dari pernyataan kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Tahura Ngurah Rai Provinsi Bali I Ketut Subandi, S.Hut., M.Si., yang mengatakan pemanfaatan kawasan Tahura, 'Embung Sanur seluas ± 2, 5 Ha' dengan luas kolam Embung sebesar 0, 96 hektar, dengan Kapasitas Tampungan 34.500 m3, dan lainnya yang sudah berjalan, Jelasnya, Senin (27/06/2022), di Kantor Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali.

    Dengan banyaknya instansi dan lainnya yang semua pemanfaatan untuk khalayak umum itu dengan memanfaatkan kawasan Tahura, mengapa penolakan itu terasa tidak adil. Melalui PT.DEB pembangunan terminal LNG tersebut dikatakan pada waktu yang lalu oleh humasnya adalah untuk ketahanan energi secara mandiri, karena saat ini Bali masih mengandalkan pasokan listrik dari luar Bali. 

    Dalam pembangunan Embung Sanur di wilayah desa Sanur Kauh itu tentu juga banyak membabat ekosistem hutan Mangrove. Seperti Paku laut yakni sejenis paku-pakuan berukuran besar, yang biasa tumbuh di tanah di bawah naungan hutan bakau atau lahan basah lainnya. Paku atau pakis ini juga dikenal dengan banyak nama lain seperti paku larat, papah, piai, paku hata diuk, warakas, krakas, kakakeok, dan rewayang. (Sumber Wikipedia)

    Kegunaannya juga banyak, daun-daun paku laut yang dikeringkan dipergunakan sebagai atap rumah. Pucuknya yang muda juga dimanfaatkan sebagai sayuran di beberapa daerah. Sedangkan daun-daun yang tua dan juga akarnya digunakan sebagai bahan obat tradisional.

    Menghubungi Ketut Subandi kembali, Minggu (10/07/2022) menanyakan tentang potensi mangrove yang hilang terhadap pembangunan Embung Sanur, melalui pesan elektronik. Ia menjelaskan bahwa sebagai orang konservasi tidak melulu hanya bicara tentang mangrove, tetapi juga bicara tentang ekosistem hutan Mangrove.

    "Pada ekosistem hutan mangrove ada flora (mangrove sejati, asosiasi mangrove, dan lainnya), fauna (berbagai  jenis ; kepiting, ikan, cacing, biawak, ular dan berbagai jenis burung dan lainnya) yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya saling bergantungan membentuk ekosistem hutan mangrove sebagai penyangga kehidupan didalam dan disekitar kawasan hutan, "jelasnya.

    Pada areal yang dipakai untuk Embung Sanur seluas ± 2, 5 Ha sudah barang tentu kawasan disana adalah ekosistem hutan mangrove (areal eks tambak) yang kebetulan lebih banyak ditumbuhi semak belukar dan tanaman yg ditanam masyarakat (pisang, nangka dan lainnya) dan masih ada juga mangrove yang tumbuh, namun jenis-jenis kepiting, ikan, burung-burung juga ada hidup disana.

    "Sebagian ada jenis-jenis mangrove dan asosiasi mangrove, semak belukar dan tanaman masyarakat"

    Tentu itu juga membabat ekosistem Mangrove, "Karena arealnya dipakai untuk pembangunan Embung, ya dilakukan penebangan dan pembersihan lokasi tersebut, "ungkapnya menambahkan.

    Pembangunan yang dilakukan Balai Wilayah Sungai Bali-Penida (BWS) Bali ini juga dikatakannya akan ditanam kembali di areal embung dan areal lainnya di dalam kawasan Tahura, yang nantinya akan jadi bagian dari ekosistem Mangrove. (Ray)

    denpasar bali
    Ray

    Ray

    Artikel Sebelumnya

    Ombudsman Siap Kawal Pelaksanaan PPDB 2022,...

    Artikel Berikutnya

    Dukung Terminal LNG, Desa Adat Sidakarya...

    Berita terkait